Oleh : Yuniarso Amirudin, S.Pd, M.Si
Kepala SMAN 1 Kersana
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Radar tegal Tanggal 22 Februari 2021)
Kata strofe itu bernama pandemi covid-19 yang secara massiv telah melemahkan banyak sendi kehidupan hampir di semua lapisan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah yang merupakan bagian terbesar dari populasi penduduk Indonesia. Gelombang pemutusan hubungan kerja karena penutupan sektor sektor industri, produksi dan jasa disertai kecemasan terpapar virus memaksa orang tinggal di rumah dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan stress yang berkepanjangan bagi sebagian besar masyarakat.
Pemerintah telah berupaya membantu masyarakat secara materiil maupun imateriil dengan berbagai produk kebijakan seperti bansos kepada masyarakat yang jatuh miskin dan melakukan upaya memutus rantai penularan mulai dari mengedukasi masyarakat dengan 5 M (mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan menunda bepergian) sebagai protokol kesehatan hingga menyediakan vaksin sebagai upaya mencegah penyebaran virus covid-19 agar kondisi kembali normal.
Beruntung manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang sempurna sebagaimana tertera dalam Surat At-Tin ayat 4 Allah berfirman “Sesungghnya kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna (QS.96:4)”. Salah satu bentuk kesempurnaan karena manusia diberikan Allah segala komponen yang tidak dimiliki oleh ciptaan lainnya diantaranya kemampuan dalam menghadapi persoalan dan kesulitan hidupnya. Dalam menjalani kehidupan manusia akan selalu dihadapkan dengan berbagai persoalan dan cobaan baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Dengan berbekal kemampuan mengatur kecerdasan emosionalnya manusia akan mampu menumbuhkan kecerdasan ketahanmalangan atau Adversity Quotient.
Hartosujono (2015) mengatakan bahwa ketahanmalangan merupakan kemampuan bagaimana seseorang menerima kesulitan secara efektif dan mengaitkan dirinya dengan tantangan yang ada. Ketahanmalangan akan membuat seseorang mengubah pola pikirnya mengenai hambatan, kesulitan serta masalah sehingga dapat dijadikan sebagai suatu peluang untuk keluar dari persoalan yang dihadapinya.
Ketahanmalangan dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan sehariharinya. Sementara Agustiana,dkk (2013) merinci aspek-aspek ketahanmalangan yakni bersedia mengambil resiko karena keberanian hidup yang sesungguhnya adalah berani mengambil resiko dalam menghadapi tantangan untuk mengatasi rasa takut sehingga mampu mengambil solusi dari setiap persoalan hidup yang dihadapi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan ketahanmalangan (Adversity Quotient), antara lain : bakat, kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakteristik kepribadian, genetika, pendidikan, dan keyakinan diri (Saidah & Aulia, 2014).
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan ketahanmalangan (Adversity Quotient) merupakan tingkat kemampuan seseorang dalam mengatasi suatu kesulitan serta pemecahan masalah dalam hidupnya yang ditunjukkan dengan indikator-indikator: percaya diri, menerima kesulitan, melakukan tindakan untuk menghadapi kesulitan, berani mengambil resiko dan bertahan dalam kesulitan.
Ada tiga kategori yang masuk dalam kelompok Adversity Quotient yaitu kelompok pertama yang disebut denganquitters(orang yang berhenti berusaha) kategori ini menduduki posisi terendah yakni orang yang kurang memiliki kemauan untuk menerima tantangan dalam hidupnya dan mudah menyerah dengan kesulitan yang dihadapinya. Selanjutnya disebut campers (diibaratkan orang yang berkemah) sebutan ini untuk menunjukkan seseorang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapi tantangan dan masalah yang ada tetapi mereka berhenti karena merasa puas dan tidak mampu lagi. Kategori tertinggi adalah climbers (seorang pendaki), climbers merupakan mereka yang memilih untuk terus bertahan dan berjuang menghadapi berbagai macam hal, baik berupa masalah, tantangan, dan hambatan (Wardiana dkk, 2014).
Dalam situasi Pandemi seperti sekarang ini dimana banyak ditemukan kasus gangguan kejiwaan berupa stress baik ringan, sedang maupun berat yang dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia, kita semua diharapkan dapat membentuk dan menumbuhkan kecerdasan ketahanmalangan (Adversity Quotient) pada level tertinggi yaitu climbers sebagai perisai diri agar dapat bertahan dan berjuang menghadapi berbagai macam kesulitan atau permasalahan hidup yang semakin meningkat di masa pandemi.
Sebagai bagian dari pengembangan Kecerdasan Emosional (EI) kecerdasan ketahanmalangan (Adversity Quotient) dapat dibentuk dan ditumbuhkan lewat pembiasaan. Sebagaimana dikatakan oleh Stolz (2000) bahwa otak secara ideal dilengkapi sarana membentuk kebiasaan-kebiasaan, yang dapat dengan segera diinterupsi dan diubah.
Kebiasaan seseorang merespon terhadap kemalangan dapat diinterupsi dan diubah menjadi lebih kuat dan tangguh. Hal ini berarti kecerdasan ketahanmalangan dapat ditumbuhkan dengan menguatkan mental untuk mengubah respon terhadap setiap persoalan yang dihadapi seseorang. Pada akhirnya kebiasaan lama berupa ketidakmampuan dan lemahnya mental dalam merespon kesulitan hidup akan tersingkir dan berganti menjadi kebiasaan baru yang tumbuh dan berkembang yaitu kemampuan dalam menghadapi persoalan dan kesulitan hidup. Dengan penguatan kecerdasan ketahanmalangan (Adversity Quotient) diharapkan kita lebih siap dan kuat menghadapi kesulitan di masa pandemi covid-19 saat ini (*).
Beri Komentar